11 Desember 2025 / Akademik

Pada hari Rabu, tanggal 10 Desember 2025, atmosfer di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH Undip), Tembalang, Semarang, terasa berbeda dari hari-hari biasanya. Meskipun kalender akademik menunjukkan kesibukan masa ujian akhir, perhatian civitas akademika tertuju pada satu titik sentral: Ruang Fiat Justicia di Lantai 3 Gedung Samiadji Soejotjaroko, S.H. Di tempat inilah diselenggarakan perhelatan intelektual bertajuk "Dialog KUHP Nasional Bersama Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H."
Kegiatan ini bukan sekadar event akademik rutin belaka. Penyelenggaraannya memiliki urgensi historis yang monumental karena dilaksanakan hanya beberapa minggu sebelum tanggal efektif pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional, atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, yang dijadwalkan berlaku penuh pada 2 Januari 2026. Momentum ini menjadi titik kulminasi dari perjuangan panjang reformasi hukum pidana di Indonesia yang telah berlangsung selama lebih dari setengah abad, sebuah proses dekolonisasi hukum yang bertujuan menggantikan Wetboek van Strafrecht (WvS) peninggalan kolonial Belanda dengan hukum nasional yang berjiwa Pancasila.
Pemilihan tanggal 10 Desember 2025 juga bertepatan dengan peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia, sebuah koinsidensi yang (sengaja atau tidak) menegaskan pesan bahwa wajah baru hukum pidana Indonesia tidak lagi mengedepankan aspek pembalasan semata, melainkan perlindungan hak asasi manusia, keadilan, dan humanisme. Dalam konteks ini, kehadiran Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H., sebagai narasumber utama memiliki makna simbolis yang mendalam. Beliau bukan hanya seorang Guru Besar, melainkan arsitek intelektual, penjaga gawang moralitas hukum, dan saksi hidup perjalanan panjang kodifikasi hukum pidana nasional.
Kegiatan ini dihadiri oleh Dosen Hukum Universitas Ngudi Waluyo, Dwi Wisnu Kurniawan, S.H., M.H, dan Fikri Ariyad, S.H., M.H., sejumlah mahasiswa hukum Universitas Ngudi Waluyo dan ratusan peserta secara luring di Ruang Fiat Justicia serta peserta lainnya yang mengikuti melalui siaran langsung kanal resmi fakultas, menandakan antusiasme yang tinggi dari komunitas hukum nasional terhadap pandangan-pandangan "Begawan Hukum" dari Semarang ini.
Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H.: Sang Begawan Hukum Pidana
Prof. Barda Nawawi Arief adalah figur sentral dalam "Mazhab Semarang" dalam hukum pidana. Beliau adalah penerus estafet pemikiran dari pendahulunya, Prof. Sudarto dan Prof. Muladi, yang secara konsisten memperjuangkan kemandirian hukum nasional. Dalam dialog ini, beliau hadir sebagai living legend yang telah mengawal penyusunan RUU KUHP sejak dekade 1980-an hingga pengesahannya di tahun 2023.
Pemikiran Prof. Barda dikenal dengan karakteristiknya yang Integratif dan menolak dikotomi tajam antara hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, antara perbuatan (daad) dan pelaku (dader), serta antara kepastian hukum dan keadilan. Dalam berbagai karyanya, beliau menekankan bahwa hukum pidana Indonesia harus kembali ke "rahim" ibunya sendiri, yaitu nilai-nilai luhur bangsa, bukan sekadar menjiplak teori-teori Barat yang sekuler dan individualistik.
Pada usia yang sudah sangat matang di tahun 2025 ini, kehadiran beliau di podium Ruang Fiat Justicia dipandang oleh banyak pihak sebagai "wasiat akademik" yang harus disimak dengan takzim. Beliau sendiri menyebut KUHP Nasional ini sebagai "bayi kecil" yang harus dijaga, sebuah metafora yang menunjukkan betapa personalnya hubungan beliau dengan produk legislasi ini.
Sambutan Dekan: Menegaskan Kesiapan Menghadapi Pemberlakuan KUHP Nasional Tahun 2026
Sambutan pembukaan oleh Dekan FH Undip, Prof. Dr. Retno Saraswati, S.H., M.Hum., menyampaikan apresiasi mendalam atas kehadiran Prof. Barda Nawawi Arief. Beliau menyebut momentum dialog ini sebagai "privilese sejarah" bagi para mahasiswa yang hadir, karena mereka dapat mendengar langsung dari sumber primer penyusun KUHP.
Prof. Retno mengingatkan bahwa tahun 2026 bukan lagi masa depan yang jauh, melainkan realitas yang ada di depan mata. "Hanya dalam hitungan minggu, kitab undang-undang pidana nasional akan berlaku efektif tanggal 2 Januari 2025, dan dialog ini menjadi bukti kesiapan FH UNDIP dalam menyambut keberlakuan aturan hukum tersebut" ujarnya.
Kemudian Dekan FH Undip secara resmi meresmikan berdirinya Diponegoro Penal Reform Institute. Lembaga ini diharapkan menjadi pusat keunggulan (center of excellence) dalam studi kebijakan dan pembaruan dalam bidang hukum pidana nasional kedepannya.
Pergeseran Paradigma: Dari Liberal-Individualistik Menuju Keadilan Pancasila
Inti dari Dialog bersama Prof. Barda adalah penjelasan mengenai fondasi filosofis KUHP baru. Beliau mengkritik keras WvS (KUHP lama) yang disebutnya sebagai produk hukum yang "sekuler, liberal, dan individualistik". WvS, menurut beliau, hanya mementingkan kepastian hukum formal dan perlindungan kepentingan individu, seringkali dengan mengorbankan kepentingan masyarakat dan nilai-nilai moral.
Sebaliknya, KUHP Nasional dibangun di atas landasan Keadilan Pancasila. Dalam dialog ini, Prof. Barda membedah dimensi utama Keadilan Pancasila yang harus ada dalam setiap putusan hakim.
Keadilan Ketuhanan (Divine Justice), Ini adalah aspek yang paling membedakan hukum pidana Indonesia dengan hukum pidana Barat. Prof. Barda menegaskan bahwa hukum di Indonesia tidak boleh lepas dari nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Keadilan Kemanusiaan (Human Justice), Hukum harus memandang pelaku kejahatan sebagai manusia yang utuh, bukan sekadar objek pembalasan.
Keadilan Kesatuan (Unity Justice), Hukum harus mengutamakan kepentingan nasional Indonesia.
Keadilan Demokrasi (Democratic Justice), Hukum harus berpedoman pada kerakyataan, pemusyawaratan dan mufakat.
Keadilan Sosial (Social Justice), Hukum harus menjaga keseimbangan antara hak individu dan kewajiban sosial.
Salah satu topik yang paling banyak memicu diskusi dalam dialog tersebut adalah transformasi Pasal 1 ayat (1) KUHP lama ke Pasal 1 dan Pasal 2 KUHP baru. Prof. Barda menjelaskan bahwa KUHP Nasional menganut Asas Legalitas Materiil. Asas Legalitas Formal (Pasal 1): Tetap dipertahankan, bahwa tiada pidana tanpa aturan undang-undang yang mendahuluinya. Ini untuk menjamin kepastian hukum. Sementara Asas Legalitas Materiil (Pasal 2): Merupakan terobosan besar. Pasal ini mengakui berlakunya "hukum yang hidup dalam masyarakat" (hukum adat) untuk perbuatan yang tidak diatur dalam undang-undang tetapi dianggap tercela oleh masyarakat.
Menutup sesi materi teknis, Prof. Barda membahas tentang Sentencing Guidelines (Pedoman Pemidanaan) yang baru. Beliau menyoroti dua asas penting yang harus dipegang teguh oleh hakim mulai tahun 2026 yakni Asas Parsimony (Penghematan) dan Asas Restraint (Pengendalian Diri). Prof. Barda menyoroti masalah overkapasitas Lapas di Indonesia sebagai akibat dari "nafsu memenjarakan" yang berlebihan di masa lalu. (Penulis Dwi Wisnu Kurniawan S.H., M.H)